

“Dan orang-orang Yahudi berkata : ‘Orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan’, Dan orang-orang Nasrani berkata : ‘Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan’. Padahal mereka (sama-sama) membaca Al-Kitab” [Surah Al-Baqarah : 113]
Adapun dalil yang menjelaskan bahawa umat Islam pada akhir zaman pasti berpecah-belah diantaranya adalah hadith Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Sesungguhnya bani Israel berpecah-belah menjadi tujuh puluh satu, dan sesungguhnya umat ini akan berpecah-belah menjadi tujuh puluh dua, semuanya di neraka kecuali satu, dan dia adalah jama’ah” [HR Ibnu Majah ; 3983] Dishahihkan Al-Albani Shahih Ibnu Majah 2/364. Yang dimaksud jama’ah di dalam hadith ini adalah yang kembali kepada yang haq, atau sebagaimana yang diterangkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam iaitu orang yang berpijak kepada Sunnahku pada hari itu dan Sunnah para sahabatku.
Perpecahan umat Islam ini merupakan takdir kauni (kehendak Allah untuk menciptakannya) bahawa pada akhir zaman umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti berpecah-belah, akan tetapi bukan bererti kita boleh berpecah-belah, sebagaimana dalil yang selalu dikumandangkan oleh orang ahli bid’ah dalam rangka menutup aib mereka, mereka berdalil dengan hadith palsu
‘ ikhtilafu umati rahmat’ (perpecahan umat ini adalah rahmat).
Ketahuilah perkataan itu bukan hadith Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi hadith palsu. Syaikh Al-Albani berkata : “Para pakar ahli hadith telah cuba mencari sanad hadith ini akan tetapi tidak menemukannya” [Lihat Silsilah Ahadits Dho’ifah 1/141]
Dalil mereka ini tidak masuk akal, kerana mustahil orang yang berselisih dan berpecah-belah hidupnya penuh dengan rahmat. Bukankah pasangan suami-isteri bila berselisih terancam jiwanya, bagaimana berselisih dalam hal aqidah dan ibadah merasa suatu rahmat?! Oleh kerana itu ahli bid’ah dan orang yang fanatik golongan merasa sakit hatinya apabila dikritik kesalahannya.
Ketahuilah perpecahan umat ini merupakan ujian bagi orang yang beriman, hendaknya mereka memilih jalan yang benar dan meninggalkan kelompok tersesat lainnya. Adapun dalil wajibnya kita bersatu, tidak boleh berpecah-belah dan bergolong-golongan.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara” [Surah Ali-Imran ; 103]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sesungguhnya Allah meredhai kamu tiga perkara dan membenci kamu tiga perkara ; Dia meredhai kamu apabila kamu beribadah kepadaNya dan tidak menyekutukan sesuatu kepada-Nya, dan apabila kamu berpegang teguh kepada tali Allah semua dan kamu tidak berpecah-belah” [HR Muslim : 3236]
BAGAIMANA AGAR UMAT ISLAM BERSATU?
Ayat dan hadith di atas menunjukkan cara untuk menyatukan umat Islam, iaitu kita harus kembali kepada tali Allah, sedangkan makna tali Allah ialah Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana dijelaskan di dalam hadith.
“Kitab Allah adalah tali Allah yang menjulur dari langit ke bumi” [Lihat Silsilah As-Shahihah 5/37]
Adapun dalil yang menunjukkan bahawa As-Sunnah termasuk tali Allah, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Aku tinggalkan kepadamu dua perkara, kamu tidak akan tersesat selamanya iaitu kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya’ [HR Imam Malik 1395 bersumber dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu dihasankan oleh Al-Albani di dalam kitabnya Manzilatus Sunnah fil Islam 1/18]
Pada zaman sekarang umat Islam tidak cukup hanya bepegang kepada Al-Qur’an dan hadith yang shahih untuk menyatukan umat, kerana ahli bid’ah pun mengaku berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi mereka berselisih dan berpecah-belah, kerana itu tidaklah umat Islam akan bersatu melainkan apabila di dalam berpegang kepada Al-Qur’an dan hadith yang sahih disertai dengan pemahaman dan manhaj salafus soleh, dari kalangan para sahabat, tabi’in dan ahli hadith. Sebab jika tokoh umat memahami dalil nas dengan pemahaman salafus soleh nescaya mereka tidak akan berpecah belah walaupun mereka berselisih dalam suatu masalah, kerana khilaf mereka jatuh pada masalah ijtihadiah.
Adapun dalil wajibnya kita memahami dalil nas dengan pemahaman salafus soleh adalah sebagai berikut.
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah redha kepada mereka dan merekapun redha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka syurga-syurga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya ; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” [Surah At-Taubah : 100]
Dalam ayat di atas Allah memuji sahabat dan orang yang mengikuti mereka dengan baik, yang sekarang dikenal dengan nama ahlus sunnah wal jama’ah atau pengikut as-salafush sholih.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Maka barangsiapa yang menjumpai itu (perpecahan umat) hendaknya dia berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para kholifah yang menunjukkan kepada kebaikan dan mendapat petunjuk, gigitlah Sunnah ini dengan gigi geraham” [HR Tirmidzi 2600 dan lainnya dishahihkan Al-Albani lihat Silsilah As-Shahihah 6/610]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya berpesan kepada umatnya agar berpegang kepada Sunnahnya saja, akan tetapi kepada Sunnah sahabat pula.
Dari Abu Burdah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Dan sahabatku adalah orang yang dapat dipercaya untuk umatku, maka jika mereka telah pergi, maka akan datang apa yang dijanjikan kepada umatku” [HR Muslim: no 4596]
Imam An Nawawi rahimahullah berkata :
“Adapun makna “apa yang dijanjikan” iaitu munculnya bid’ah, perkara baru dalam urusan agama, dan munculnya fitnah” [Syarah Imam Muslim 16/83]
Selanjutnya orang yang menolak pemahaman para sahabat maka akan diancam menjadi orang yang tersesat.
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”
[Surah An-Nisa : 115]
Syaikh Al-Albani berkata : “Benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahawa umat Islam pada zaman sekarang –kecuali sedikit di antara mereka- tatkala mereka tidak berpegang teguh dengan kitab Allah dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka tersesat dan hina, yang demikian itu kerana mereka berpegang kepada pendapat pemimpin mereka.
Tatkala terjadi perselisihan, pendirian mereka pada dasarnya kembali kepada pemimpin mereka, jika ada ayat yang sesuai dengan mereka, mereka ambil, jika tidak, mereka menolaknya. Bahkan sebahagian mereka berkata : “Setiap ayat atau hadith yang bertentangan dengan pendapat mereka, maka dimansukh (dihapus)”. Semoga Allah merahmati Imam Malik rahimahullah, beliau berkata : “Dan tidak akan baik umat pada akhir zaman ini melainkan apabila mereka kembali sebagaimana ulama pertama memperbaiki umat” [Hajjatun Nabi 1/71]
Kesimpulannya para pemimpin masyarakat hendaknya mengajak umat agar kembali kepada pemahaman salafus soleh tatkala mengambil dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, agar umat tetap bersatu dan tidak timbul perasaan benar sendiri dan menyalahkan orang benar.
Pemimpin umat hendaknya hati-hati dalam memimpin umat jangan sampai menjadi penyebab kerosakan umat.
Dari Tsauban Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan dari umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan” [HR Tirmidzi 2155 dishahihkan oleh Al-Albani Shahihul Jami’ 2316]
Pemimpin umat hendaknya takut di hadapan pengadilan Allah pada saat pengikut mengadu pada hari kiamat. Baca surat Ibrahim : 21-22 dan surat Ghofir : 47-48, surat As-Saba : 31-33. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi petunjuk kepada kita semua, menjadi pemimpin yang mengajak umat kepada yang haq yang diredhai oleh Allah Jalla Jala Luhu.
Dinukil dari artikel Nasehat Untuk Pendiri Organisai, Jama’ah Dan Partai, [Tafsir Al-Qur’an Surat Al-An’am ; 159]. Majalah Al-Furqon, Edisi 6, Th. Ke-7 1429/2008.
Leave a Reply